Kudus, Liputan7.Net – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Pusat, menolak tegas kebijakan iyang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 yang mengubah PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Program yang diputuskan pemerintah dan telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Mei 2024 itu dituding tidak jelas dan justru memberatkan para pekerja. Tentu saja buntut penolakan Tapera KSPSI Pusat juga berimbas ke KSPSI di daerah, khususnya di Kudus.
“Program Tapera bukanlah solusi bagi pekerja yang belum memiliki rumah. Selain itu, pelaksanaan program tersebut juga tidak masuk akal dan akan memberatkan para pekerja,” ujar Ketua KSPSI Kudus, Andreas Hua saat dihubungi awak media via telepon, Jumat (31/5)
Andreas sekali lagi menegaskan, program Tapera tidak jelas dan tidak masuk akal. Program Tapera bukanlah solusi untuk penyediaan rumah bagi pekerja.
Andreas pun memaparkan besaran iuran Tapera sebesar 3 persen dari Upah Minimum Kabupaten (UMK). Untuk pekerja di wilayah Kudus, iuran yang terkumpul hanya berkisar Rp 900-an ribu setiap tahunnya.
“Nah, dengan harga rumah KPR di Kudus yang berkisar 300 juta rupiah, maka setidaknya dibutuhkan waktu sekitar 27 tahun untuk bisa mendapatkan rumah,” ucap Andreas.
Menurut Andreas, program tersebut semakin menjadi aneh, jika nanti pekerja yang sudah memiliki kredit perumahan rakyat (KPR) dan tengah membayar angsuran rumahnya juga harus ikut dibebani membayar iuran Tapera.
”Belum ada jaminan kalau ikut Tapera ini langsung akan dapat rumah, intinya dari serikat mengambil sikap menolak,” tekannya.
Penolakan senada juga muncul dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kudus. Kalangan pengusaha yang tergabung di organisasi profesi ini berharap penyediaan rumah bagi pekerja, tanpa harus menambah beban pengusaha dan pekerja.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) APINDO Kudus, Bambang Sumadyono mengatakan, melaksanakan aturan pemerintah memang adalah keniscayaan.
“Namun bagaimana melaksanakan aturan termasuk PP 21 tahun 24 dengan cara yang tidak terasa berat adalah pilihan,” ujar Bambang.
Jika jiwa dari PP itu adalah bentuk perhatian pemerintah, kata Bambang, seharusnya pemerintah mengoptimalkan pengelolaan dana BPJS ketenagakerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi pekerja.
“Dalam hal ini, pemerintah bisa menyediakan rumah tanpa harus menambah beban pengusaha dan pekerja. Jangan hanya melihat iuran 0,5 yang terkesan kecil,” pintanya.
Bambang menambahkan, besaran iuran 0,5 persen jumlahnya pun tidak kecil lagi jika diakumulasikan selama satu tahun. Sebab perusahaan juga membutuhkan kelangsungan dan pengembangan usaha.
Untuk diketahui, pemerintah menerbitkan kebijakan baru mengatur potongan tambahan pada gaji pekerja untuk simpanan Tapera.
Dalam Pasal 5 dari PP Tapera mengatur bahwa setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau yang sudah menikah, serta memiliki penghasilan minimal sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta Tapera.
Ketentuan ini berlaku tidak hanya untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tetapi juga termasuk karyawan swasta dan pekerja lainnya yang menerima gaji atau upah.
Dalam bunyi pasal itu mengatakan, setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.
Pemerintah memberikan waktu hingga 2027 bagi para pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya kepada Badan Pengelola (BP) Tapera.
Simpanan peserta Tapera akan dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja itu sendiri, sementara untuk pekerja mandiri atau freelancer, simpanan dibayarkan oleh mereka sendiri. (YM/YM)